Kamis, 03 Desember 2009

UJI APLIKASI PADA AYAM BOILER

HASIL UJI APLIKASI
(PENGGUNAAN PROAMINOSIN PADA AYAM BOILER)
Lokasi di Desa banyakan, Kec. Grogol Kab. Kediri

Kondisi

  • Kandang : Tradisonal (kandang panggung) Daya tampung 500 ekor
  • Model : Kemitraan.
  • DOC : Jumlah 5000 ekor dengan bonus 100 ekor jadi total : 5100 ekor
  • Catatan : Ada semacam rumor di kalangan peternak bahwa DOC kemitraan adalah grade ke – 3. (entah benar atau tidak)
  • Pakan :Suplay dari kemitraan dengan sistem dibayar setelah panen, pakan diberikan Tanpa ada batasan. Disamping itu peternak juga memberi pakan tambahan diluar yang ditetapkan oleh kemitraan sebanyak 2.630 kg, sedangkan pakan kemitraan sebanyak 15.960 kg. harga pakan Rp. 4.500,- / kg. Disamping itu juga diberikan pakan tambahan jagung sebanyak 300 kg, dengan harga Rp. 2.800,- per Kg.


  • Vitamin : diberikan dengan air jumlah tak terbatas.
  • Obat & Vaksin : Standart pabrik.
  • Harga jual hasil panen dipatok oleh kemitraan sebesar Rp. 12.800,-
  • Tambahan PROAMINOSIN sebanyak 8 sak (200 kg) untuk 5100 ekor
  • Dosis. 1% proaminosin dicampur pakan jadi

Hasil Uji Aplikasi

Jumlah kematian :
Ternak mengkonsumsin Proaminosin 125 ekor (2,45%)

Dibawah umur 20 hari : 70 ekor
Setelah 21 hari : 55 ekor faktor kandang kurang bagus (banyak ayam yang mati terjepit)
Total : 4975 ekor ayam

Standart Pabrik 200-250 ekor (4,64 %)
Dilihat dari kandang lain yang TIDAK mengkonsumsi proaminosin jumlah kematian
sebanyak : 250 ekor
Total : 4850 ekor ayam


Umur panen dan berat ayam

Ternak mengkonsumsi Proaminosin
Panen 36 hari dengan berat rata-rata 2,21 kg/ekor
2.21 kg X 4975 ekor = 10.995 kg

Standart Pabrik panen selisih 2 hari
Panen 38 hari dengan berat rata-rata 1.90 kg /ekor
1.90 kg X 4850 ekor = 9.215 kg

Setelah dihitung total terdapat keuntungan sebesar Rp. 25.000.000,



Kesimpulan :
  • Penggunaan PROAMINOSIN dapat menurunkan tingkat kematian (khususnya kematian di usia di bawah 20 hari).
  • Penggunaan PROAMINOSIN juga dapat membantu meningkatkan makanan yang tercerna, oleh karena itu pakan yang diberikan lebih banyak menjadi daging
  • Ayam yang diberi PROAMINOSIN lebih sehat. (dibuktikan dengan energi ayam lebih besar dari pada tidak di beri PROAMINOSIN.
  • Untuk kesimpulan lain silahkan melakukan analisa sendiri-sendiri, silahkan pembaca berikan komentar terhadap hasil uji pemberian PROAMINOSIN pada prosentase 1 %.
  • Untuk uji selanjutnya Pemberian PROAMINOSIN ditingkatkan prosentasenya hingga 3 %.

Jumat, 20 November 2009

Update Hasil Analisa Laboratorium Hasil lab unibraw, dikeluarkan 6 April 2009

HASIL LAB PROAMINOSIN

PROAMINOSIN SOLUSI TEPAT BAGI PETERNAK


Serbuk Campuran pakan ternak tinggi protein Hingga 80 %

mengandung protein 70%-80%, lemak, metabolisme energi yang tinggi 3500 calori/ gram, asam amino ( Lysine, Thereonin, Methionin dll)

Dicampurkan dengan dedak, rumput, ampas tahu, onggok atau konsentrat dll. terbukti bermanfaat untuk:

Sapi Perah
meningkatkan nafsu makan
meningkatkan metabolisme
meningkatkan kualitas susu
meningkatkan Total solid susu sampai 14-16%.
membuat tubuh sapi lebih padat dan berisi
meningkatkan kualitas daging & susu

Sapi Potong
meningkatkan nafsu makan
meningkatkan metabolisme
meningkatkan berat badan sapi dalam waktu cepat rata-rata 1.5 kg-2 kg/ hari
membuat tubuh sapi lebih padat dan berisi
meningkatkan kualitas daging

Kambing
meningkatkan nafsu makan
meningkatkan metabolisme
meningkatkan berat badan kambing dalam waktu cepat

Ayam Potong
meningkatkan kualitas daging
meningkatkan metabolisme sehingga berat ayam akan cepat lebih padat dan berat bertambah
membuat ayam lebih sehat dan tahan terhadap penyakit

Ayam Petelur
meningkatkan kualitas telur
mingkatkan produktifitas

Ikan Lele, Patin, Belut
nafsu makan ikan akan bertambah
membantu kecukupan oxygen di kolam secara alamiah
membantu kehidupan plankton dan suhu kolam lebih nyaman untuk ikan.

Pada uji coba di kolam lele terpal ukuran 4x6 M dgn tebaran 2000 bibit lele usia 10 hari, ditebari proaminosin 3 ons.bibit lebih panjang dan besar dr usia semestinya, dgn kegesitan yg lebih, Oxygen di kolam cukup dapat dilihat dgn tidak ada satupun bibit lele menggantung semua berada di dasar.

Dosis Penggunaan

Sapi, Kambing, Babi dll
1-2 % dari total ransum atau konsentrat

Unggas
1-1.5% dari total ransum atau pur atau konsentrat

Ikan Lele, Patin, Belut
5% dr total berat ransum atau pelet atau adonan pelet.

Info Hubungi 0815.500.6009
Merva Detaning Sasi
www.proaminosin.blogspot.com

atau untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya :
Info Hubungi 0815.805.0904
Priyo Arif Mustakim
www.ilmupeternakan-priyo.blogspot.com

Senin, 28 September 2009

ANALISIS PENAMPILAN BUDIDAYA DOMBA DALAM SATU KAWASAN PERKANDANGAN TERHADAP INOVASI TEKNOLOGI PETERNAKAN YANG SEDANG BERKEMBANG (2)

Teknologi pakan
Rumput, merupakan makanan utama ternak ruminansia. Ketersediaan rumput sepanjang tahun pada umumnya merupakan masalah yang selalu melanda daerah padat ternak. Oleh karena itu, kebijakan untuk menanam rumput unggul, selalu disyaratkan kepada peternak yang memelihara “ternak bantuan” dari pemerintah atau instansi lain. Hal ini dimaksudkan, selain untuk menjamin ketersediaan rumput, juga mengenalkan kepada peternak bahwa kandungan nutrisi rumput unggul lebih tinggi dari rumput lapangan (HARTADI. et al., 1986). Dari 55 responden, semuanya mengetahui manfaat rumput unggul bagi ternak, tetapi yang mengenal bentuk fisik, baru 31,2% responden, sedangkan 68,8% sisanya pernah mendengar dan belum mengenal bentuk fisiknya. Sementara itu, untuk membudidayakannya, 52,7% responden menyatakan tidak perlu, karena domba setiap hari sepanjang musim selalu digembalakan dan rumput tersedia sepanjang tahun. Sementara itu, alasan lain karena belum pernah ada peternak yang menanam rumput unggul (25,4%) dan karena keterbatasan pemilikan lahan (21,9%).

Sebagai sumber energi, ternak perlu diberi pakan yang mengandung karbohidrat, yang digunakan untuk proses produksi dan reproduksi. Konsentrat, adalah pakan ternak yang disusun dari berbagai bahan pakan dengan kandungan nutrisi yang lengkap. Sementara itu, responden hanya menggunakan dedak, sebagai sumber energi yang diberikan setiap hari kepada ternaknya. Penyajian dedak dalam bentuk “komboran/cair” yaitu campuran dari dedak (500 – 1000 g), air (5 – 10 liter) dan garam dapur (100 – 150 g) untuk seluruh ternak yang dimiliki. Jumlah tersebut masih sangat rendah, mengingat rata-rata domba yang dimiliki berkisar 2 – 100 atau rata-rata 26 ekor per responden. Menurut HARYANTO dan DJAJANEGARA (1993) untuk 1 ekor domba dengan berat 30 kg memerlukan 240 g dedak per hari. Pada umumnya, 100% responden mengenal konsentrat sebagai pakan ayam ras petelur atau pedaging dan bukan untuk pakan domba. Namun pada umumnya responden tidak mau untuk mencobanya karena hanya dengan diberi dedak, hasil pertumbuhan dan perkembangannya sudah cukup memuaskan
(52,7), harga konsentrat mahal (32,8%) dan pemberian rumput saja sudah cukup bagus hasilnya (14,5%).

Sebagai pakan pelengkap, pemberian mineral didalam ransum sangat diperlukan untuk pertumbuhan tulang, jaringan otot dan gigi seperti halnya pentingnya enzym dan hormon bagi proses metabolisme (HARYANTO dan DJAJANEGARA. 1993). Mineral blok adalah salah satu hasil inovasi teknologi, yang merupakan campuran berbagai unsur mineral yang diperlukan untuk ternak dan dikemas dalam bentuk kotak atau blok. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mineral kepada ternak. Mineral yang diberikan oleh 100% responden untuk domba yang dimiliki adalah garam dapur (NaCl). Responden tidak mengenal bentuk dan fungsi mineral blok, karena mineral blok tidak tersedia disini. Sebagai salah satu daerah penghasil padi terbesar di Propinsi Jawa Barat, produksi limbah pertaniannya (dedak dan jerami) sangat berpotensi sebagai pakan ternak ruminansia.

Pengolahan jerami dengan cara difermentasi dapat meningkatkan nilai nutrisi jerami (HARYANTO, 2002; AGUS et al., 2000). Tingkat pengetahuan responden tentang teknologi fermentasi jerami dan manfaat hasilnya, tidak dikenal oleh 100% responden. Hal ini sangat disayangkan, mengingat Kabupaten Indramayu mempunyai potensi limbah pertanian (dedak dan jerami padi) yang cukup banyak untuk industri pakan ternak unggas dan ruminansia tetapi tidak dimanfaatkan secara optimal. Yang dikenal oleh responden adalah pembenaman jerami kedalam lahan sawah dan pembakaran jerami yang dianggap dapat mempercepat proses menyuburkan tanah.

Teknologi pemuliabiakan dan reproduksi
Domba yang dipelihara responden adalah domba asli Indonesia, keturunan domba Priangan. Secara genetis, jenis domba ini bersifat prolifik, yaitu beranak lebih dari 1 ekor pada setiap kelahiran, sehingga memerlukan manajemen pemeliharaan yang bagus supaya perkembangan populasinya cepat (INOUNU.1996). Tingkat pengetahuan responden terhadap jenis-jenis domba unggul selain yang dipelihara sangat rendah dimana 100% responden tidak mengenal apa yang dimaksud dengan domba unggul. Namun, dengan adanya informasi yang diberikan, 32,7% menyatakan harganya tentu mahal sehingga tidak mampu untuk membeli, tidak tersedianya bibit unggul sebagai pejantan di desa (29,1%) dan responden sudah cukup puas dengan perkawinan diantara domba-domba yang tersedia (38,2%), memungkinkan terjadinya kawin dalam (inbreeding) sehingga dikhawatirkan dapat menurunkan produktivitas.

Hal ini perlu mendapat perhatian dari petugas mengingat responden tidak memiliki kartu “rekording” domba yang dimiliki dan perkawinan terjadi di padang penggembalaan. Sementara itu, teknologi Inseminasi Buatan (IB) untuk domba tidak dikenal oleh 100% responden, tetapi seluruh responden mengetahui bahwa IB dilakukan pada sapi. Tetapi, apabila diberi kesempatan
untuk melakukann IB, sebanyak 21,9% tidak mau mencoba karena selama ini belum pernah dilakukan IB untuk sapi atau domba disini dan 78,1% tidak mau melakukan IB karena dengan perkawinan alam ternak yang dihasilkan sudah bagus. Menurut DAMAYANTI et al. (2001), pilihan kawin alam merupakan hal terbaik karena secara genetis pejantan jenis ini mempunyai libido yang tinggi, disamping belum terbiasanya peternak mengawinkan ternaknya dengan IB.

Pencegahan dan pengobatan penyakit
Kebiasaan responden menggembalakan dombanya setiap hari sepanjang musim akan memudahkan domba terkena penyakit parasit infeksi nematoda saluran pencernaan (SUHARDONO et al., 2002) yang menurut RONOHARDJO et al. (1986) yang disitasi oleh SUHARDONO et al. (2002) penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Dari 55 responden hanya 5 orang responden (9,1%) yang mengenal vaksinasi untuk pencegahan penyakit parasit. Selebihnya dilakukan sendiri oleh responden dengan menggunakan ramuan dari tanaman berkhasiat obat (jamu). Pemanfaatan tanaman obat sebagai salah satu cara mencegah dan megobati penyakit parasit, dan juga penyakit yang lain, perlu dikembangkan, mengingat harga baku obat sangat mahal.

Pengolahan limbah kandang (feses danserasah)
Inovasi teknologi pengolahan limbah kandang menjadi pupuk organik dengan menggunakan berbagai jenis probiotik belum dikenal oleh responden. Teknologi yang digunakan responden masih konvensional, dengan cara membakar, menyimpan limbah kandang ke dalam lubang dan kemudian dipanen setiap saat diperlukan dan dikumpulkan kedalam karung untuk dijual dengan harga Rp. 2000 per karung. Menurut pengakuan responden, hasil penjualan limbah kandang sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

ANALISIS PENAMPILAN BUDIDAYA DOMBA DALAM SATU KAWASAN PERKANDANGAN TERHADAP INOVASI TEKNOLOGI PETERNAKAN YANG SEDANG BERKEMBANG

SRI NASTITI JARMANI

Perkembangan budidaya domba di Kecamatan Cikedung Informasi yang diperoleh dari pemuka masyarakat, budidaya domba sudah dikenal sejak lama dan merupakan usaha sambilan dengan tatalaksana budidaya tradisional. Domba yang dipelihara peternak adalah jenis domba lokal keturunan domba Priangan, dengan ukuran tubuh kecil, berwarna bulu putih dan hitam, ekor pendek dan tipis dan memiliki lingkaran hitam disekitar mata. Hingga saat ini, tatalaksana dan tujuan membudidayakannya juga masih sesuai dengan yang “diajarkan atau diturunkan” oleh pendahulunya. Sulitnya merubah tatalaksana budidaya ternak disini, mungkin karena pekerjaan yang dilakukan merupakan kegiatan rutin yang sudah terlalu lama dilakukan disamping faktor tingkat pendidikan yang dimiliki responden relatif sangat rendah. Hal ini selaras dengan yang dinyatakan oleh MOSHER (1978), bahwa kegiatan rutin yang sudah lama dilakukan dan rendahnya tingkat pendidikan, sangat mempengaruhi proses penerimaan inovasi teknologi.


Pertimbangan masyarakat disini memilih membudidayakan domba karena modal yangdiperlukan lebih kecil dibandingkan dengan memelihara sapi atau kerbau, serta setiap saat mudah untuk dijual. Sepanjang tahun domba dipelihara secara ekstensif (“dibiarkan bebas berkeliaran’) di lapangan pangonan dari pagi hingga sore dan kembali kekandang masingmasing
pada malam hari.

Pada awal tahun 2000, dalam upaya untuk menata lingkungan dan meningkatkan produktivitas ternak domba, pemerintah daerah Kabupaten Indramayu, memberikan fasilitas lahan bekas perkebunan yang sudah tidak digunakan untuk dijadikan sebagai kawasan budidaya ternak domba. Kepada setiap peternak, diberikan hak guna lahan untuk kandang seluas 400 m2. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembinaan peternak dalam upaya meningkatkan usaha produksi ternak, dan selanjutnya diharapkan kawasan ini dapat bekembang menjadi sumber bibit dan pasar domba. Dampak dari kebijakan tersebut, meningkatkan minat masyarakat yang ingin memelihara domba tetapi tidak memiliki lahan, untuk menjadi peternak domba.

Dari 55 responden, sebanyak 32,7% peternak selain memelihara ternak milik sendiri juga memelihara ternak orang lain (“penggaduh”). Pada kelompok peternak berpengalaman 1 – 3 tahun dan 4 – 6 tahun, jumlah peternak penggaduh lebih tinggi, mencapai 56%. Hal ini selain dimaksudkan untuk dapat memanfaatkan lahan secara optimal juga untuk mempercepat jumlah ternak yang dimiliki peternak dari hasil gaduhan.

Penyerapan inovasi teknologi Teknologi perkandangan
Penerapan inovasi teknologi perkandangan sudah dilakukan oleh seluruh responden dimana kandang yang dimiliki seluruh responden pada umumnya berbentuk panggung, dengan bahan utama kayu. Hal ini sesuai dengan teknologi yang dianjurkan oleh BALITNAK (1989). Namun, belum banyak responden yang memberikan sekat bagi ternak yang akan melahirkan atau untuk domba yang baru dilahirkan. Penyekatan ini diperlukan untuk melindungi dan mengurangi kematian ternak yang baru melahirkan atau yang baru lahir karena serangan atau himpitan ternak yang lebih besar.

Jumat, 10 Juli 2009

Susu Cair : Sempurna tapi belum Membudaya

Senyampang persoalan tingkat konsumsi yang masih rendah, preferensi masyarakat akan jenis susu juga menuntut koreksi. Lebih dari 80% warga dunia mengkonsumsi susu dalam bentuk cair, dan dipastikan Indonesia tak masuk di dalamnya
Susu adalah minuman alami, kaya akan nutrisi yang sulit ditandingi. Dalam budaya Arab, ia diistilahkan sebagai minumannya para nabi. Ini antara lain karena tak kurang, Muhammad, nabinya umat muslim menyebut susu sebagai minuman paling utama dan dianjurkan mengkonsumsinya setiap hari. Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, logikanya Indonesia akan menganut paham apa yang diajarkan nabinya. Tapi fakta berbicara lain. Tak sejalan dengan logika, bangsa Indonesia tercatat sebagai masyarakat dengan pola konsumsi susu yang buruk.

Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah adalah satu persoalan tersendiri dan menuntut tindakan koreksi sistemik, karena menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia, baik aspek kesehatan maupun kecerdasan. Tetapi, selain tingkat konsumsi yang masih rendah, preferensi (pilihan) masyarakat akan jenis susu yang dikonsumsi juga menuntut koreksi. Senyampang persoalan tingkat konsumsi yang baru di titik 9 kg/kap/th alias 1 gelas per minggu, alias 20 tetes per hari, ada yang keliru pula dari cara masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi susu. Masyarakat Indonesia lebih mengenal susu bubuk ketimbang susu segar atau susu cair. Lebih dari 90% warga negeri ini terbiasa mengkonsumsi susu berupa bubuk atau kental manis, dan tak lebih dari 10% yang kesehariannya minum dalam bentuk cair. Padahal jamaknya, masyarakat dunia mengkonsumsi susu dalam bentuk segar atau susu cair, sebagaimana sering tampak dalam tayangan film-film asal negara-negara maju.

“Lebih dari 80% warga dunia mengkonsumsi susu dalam bentuk segar, yang Indonesia dipastikan tidak masuk di dalamnya. Masyarakat Indonesia jauh lebih mengenal susu olahan, berupa bubuk atau kental manis.” Demikian komentar Dedi Setiadi, Ketua Umum GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) ditemui TROBOS di Bandung Juni lalu. Fakta ini disesalkan Dedi, dan menurutnya harus diluruskan. Pasalnya, mengkonsumsi susu segar bisa dipastikan memberikan keuntungan yang lebih baik ketimbang susu olahan. Ia beralasan, dari asalnya susu diciptakan dengan keunggulan kaya nutrisi yang tidak dimiliki pangan lainnya, sehingga dengan manipulasi berlebihan justru beberapa manfaat akan tereduksi. Minum susu segar adalah pilihan paling tepat untuk mendapatkan kesempurnaan manfaat dari segelas susu.

Titik Lemah Susu Bubuk
Menurut Dedi, susu bubuk hasil pengolahan pabrik yang banyak beredar di pasaran, bahan baku utamanya adalah susu impor. Disebut Dedi, susu impor bukanlah susu komplit melainkan susu yang sudah dihilangkan butter fat-nya (lemak), “Namanya skim milk powder (susu bubuk skim).” Dalam pengolahan menjadi susu bubuk ditambahkan sebagai pengganti adalah lemak dari minyak sawit (palm oil). Sehingga lemaknya adalah lemak nabati bukan lagi lemak hewani. Jadi susu yang sudah mengalami modifikasi inilah yang menjadi bahan utama susu olahan yang kadang disebut juga susu recombined. Bukan susu segar langsung dari peternakan sapi lokal.
Ditemui terpisah, Ali Khomsan pakar gizi dari IPB tidak sepenuhnya sependapat dengan pandangan tersebut. Menurutnya, secara gizi, susu bubuk memiliki kandungan nutrisi yang tidak berbeda dengan susu segar. Ahli nutrisi di industri pengolahan sudah menghitung imbangan nutrisi di dalamnya. Ia membenarkan, selama proses pengolahan beberapa zat seperti vitamin yang rentan dengan panas akan rusak. Tetapi untuk mengimbanginya, pabrikan memberikan imbuhan vitamin pengganti, dan beberapa unsur lainnya, sebagai pengganti nutrisi yang tereduksi sepanjang pengolahan. Secara prinsip, tak ada masalah dalam soal kandungan gizi sepanjang kaidah dan prosedur penyajian dipenuhi konsumen.

Masih menurut Ali, kegunaan utama susu adalah sebagai sumber kalsium, sementara nutrisi lain seperti protein dan vitamin dimiliki beberapa pangan hewani lainnya dengan kadar lebih tinggi. “Jadi susu merupakan sumber utama kalsium, zat ini yang utama dari susu,” jelasnya. Dari segelas susu terkandung 300 mg kalsium. Dan sebagaimana juga disebut dalam sebuah jurnal ilmiah keluaran Amerika, baik susu segar, susu rendah lemak (1%) dan susu tanpa lemak memiliki kandungan kalsium yang setara.
Kendati demikian, Ali menunjuk, konsumsi susu bubuk memiliki titik kelemahan utama dalam standar penyajian. Terdapat beberapa titik kritis yang berpotensi menjadikan segelas susu siap minumnya tidak ekuivalen dengan susu segar. Kesalahan penyajian dapat disebabkan karena tingkat pemahaman konsumen yang masih kurang, atau dapat pula disebabkan kesengajaan. Dengan alasan ngirit, tidak jarang para pengguna susu bubuk mengurangi takaran sebagaimana mestinya. “Yang dianggap susu, asal warnanya putih sudah cukup. Padahal konsentrasi bersifat mutlak,” tandas Ali. Belum lagi soal higienitas yang kerap menjadi kendala dalam penyajian. Tingkat kepedulian masyarakat Indonesia akan “hygien” masih rendah, syarat kebersihan untuk menutup peluang masuknya kuman sering tak diindahkan. Titik-titik kritis ini menjadi poin minus dari hadirnya segelas susu dari susu bubuk.

Ali pun sepenuhnya sangat mendukung upaya minum susu cair. “Budaya minum susu masyarakat harus diubah secara gradual,” ujar Ali. Tak hanya alasan susu bubuk memiliki nilai minus sebagaimana dijelaskannya, tapi juga karena minum susu segar akan memberikan keuntungan dari aspek harga. Selama ini susu oleh sebagian masyarakat masih dianggap sebagai barang mewah sehingga tak terbeli. Itu karena yang ada dalam alam bawah sadar adalah susu olahan yang tersedia di pasaran dalam kemasan mahal. Tidak demikian apabila susu segar. Susu segar dipastikan lebih terjangkau.
Ketua Dewan Persusuan, Teguh Boediyana memberikan informasi cara pembandingan harga susu bubuk dengan susu segar. Dikatakannya, 1 kg susu bubuk setara 8 liter susu segar, maka susu bubuk dalam kemasan boks 800 gram setara 6,4 liter. Dengan harga berkisar Rp 48 ribu/boks dapat dihitung per liter setara susu segarnya senilai Rp 7.500. Sementara saat ini harga susu di tingkat koperasi yang diserap IPS Rp 3.600 untuk TS 12% (kualitas bagus). Hitungan ini menggambarkan harga susu bubuk per liter setara susu segarnya dua kali lipat harga beli susu segar langsung di peternak. Dengan harga susu yang lebih terjangkau, konsumsi susu akan lebih merata ke lapisan yang selama ini tak tersentuh. Pada gilirannya, budaya konsumsi susu segar akan mendorong peningkatan asupan susu secara nasional. Jadi kampanye minum susu segar bagi Ali lebih pada alasan untuk mendongkrak tingkat konsumsi, bukan alasan gizi.

Menciptakan Pasar Alternatif
Mengubah budaya tidaklah gampang, diperlukan usaha yang tidak mudah dan murah. “Perlu komitmen banyak pihak untuk mengubah mindset ini. Dan penghela utama tidak-bisa-tidak harus pemerintah!” kembali Dedi yang juga Ketua GKSI Jawa Barat menekankan. Terlebih harus berhadapan dengan gencarnya promosi iklan susu bubuk di berbagai media masa. “Citra susu olahan demikian tinggi dipoles di iklan media massa, sampai substansi susunya tenggelam di antara ekspos zat imbuhan dalam susu,” kata Dedi. “Apalagi kental manis, 80 % kandungannya adalah gula. Jadi artinya minum gula rasa susu,” ia berseloroh. Tapi itu pun dikemas sedemikian rupa sehingga kekurangan itu hilang sama sekali.
Langkah pertama yang paling mungkin dan beralasan dilakukan adalah mengenalkan minum susu segar tersebut pada anak-anak sekolah. “Kelompok ini harus dibiasakan minum susu segar atau susu cair,” ujar Dedi yang juga dikemukakan Ali. Keduanya menyampaikan, yang dimaksud dengan susu segar atau susu cair adalah susu pasteurisasi dan susu UHT (Ultra High Temperatur) yang banyak ditemui di pasaran. Sedikit berbeda, Dedi menyebut satu lagi, susu sterilisasi. Tapi menurut Ali secara prinsip sterilisasi dan UHT sama.
Memproduksi susu cair tidaklah sulit, demikian Dedi yakin. Semua koperasi primer mampu memproduksi susu cair, “Masalahnya, pasarnya masih kecil karena faktor budaya tadi.” Maka gagasan sebuah program yang memiliki dampak terciptanya pasar menjadi keniscayaan. “Pemerintah membentuk captive market, koperasi menyediakan produk,” ia mengutarakan gagasan. Ia mengusulkan gerakan minum susu di anak sekolah misalnya PMTAS (Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah) makin digiatkan. “Membiasakan seminggu sekali minum susu, dengan dana dari pemerintah, jadi solusi cerdas,” ujar Ali senada.

Dana bisa saja dari departemen pendidikan, atau departemen kesehatan atau departemen sosial. Dedi menambahkan, program ini hanya bersifat sementara. “Dua tahun saja misalnya, setelah itu anak akan terbiasa atau ketagihan susu dan dengan sukarela menggunakan uang jajannya untuk membeli susu cair,” jabar Dedi. Yang terjadi selama ini, anak-anak tak terbiasa saban hari minum susu cair di tengah aktivitasnya bermain atau bersekolah.

Selasa, 02 Juni 2009

Untung Gemuk dari Penggemukan Sapi


Usaha feedlot (penggemukan sapi) ibarat tak ada matinya. Kendati tersendat oleh bakalan, permintaan yang demikian besar menjadi alasan eksisnya bisnis ini. Untuk wilayah Jakarta saja, sebut Rochmat Wijoyo, Direktur Utama PT Kariyana Gita Utama – feedlot di Sukabumi, Jawa Barat— angka permintaan harian bisa mencapai kisaran 1000 – 1500 ekor. Pihaknya, yang kini memiliki kapasitas 5000 ekor mengaku belum berandil besar terhadap angka tersebut. ”Paling banter kita hanya memasok 20 – 30 ekor/hari,” sebut Rochmat. Angka itu baru di ibukota saja, belum termasuk kota – kota besar lain. Artinya, peluang pasar ini masih tetap terbuka lebar. Belum lagi bila menjelang hari raya kurban. Keuntungan usaha penggemukan diperoleh dari peningkatan bobot badan selama pemeliharaan antara dua sampai tiga bulan.Dalam rentang masa itu tambahan bobot badan dari satu ekor sapi yang digemukkan tidak kurang dari 60 – 70 kg. Sapi bakalan yang umumnya memiliki bobot badan 300 – 350 kg, saat dijual berbobot 400 – 420 kg. Apabila harga sapi eks- farm ada di level Rp 20.000/kg, maka setidaknya Rp 1,2 juta bisa diraup.

Manajemen Sederhana

Pemeliharaan dan manajemen pengelolaan usaha feedlot bisa dikatakan tidak terlalu rumit, alias sederhana. Singkatnya, sapi bakalan dikandangkan, diberi pakan cukup, dan bila tiba waktunya, dijual. Asri Arifin yang bertanggung jawab atas manajemen kandang dan pakan (feedmill) Kariyana menjelaskannya. Sebanyak 45 ekor sapi berbobot 350 – 400 kg dapat ditempatkan dalam satu petak kandang dengan ukuran 10 x 10 m2, tinggi 4 - 5 m. Dalam manajemen Kariyana, tiap kandang terdapat rata-rata 10 buah petak yang dibatasi dengan sekat-sekat bambu. Selanjutnya Asri menjelaskan, dalam satu siklus penggemukan, paling tidak sapi akan menempati 3 areal petak yang berbeda. Pertama, ketika sapi bakalan datang –baru dibeli– ditempatkan dalam satu petak sebagai tahap karantina. ”Masa ini, sapi beradaptasi dengan tempat baru yang akan dihuni. Dilakukan pemeriksaan kesehatan dan penyesuaian pakan,” jelas Asri sembari menemani TROBOS berkeliling di areal kandang Kariyana. Setelah di karantina selama dua minggu, sapi dipindahkan ke petak baru dan mulai dengan pemberian treatment untuk penggemukan. Tiga puluh hari dipetak kedua, selanjutnya sapi dipindah lagi ke petak ketiga sampai panen, kurang lebih 30 hari kemudian. Pemindahan, menurut Asri, dimaksudkan agar sapi tetap merasa nyaman di tempatnya. Karena selama ditempati, kotoran sapi akan terus menumpuk. “Jika tidak dipindah, kotoran menumpuk terlalu banyak, sapi merasa tidak nyaman. Dan berdampak negatif pada produktivitas, bobot badan,” urai Asri. Menyoal pemberian pakan, juga tidak terlalu rumit. Air ad libitum (selalu tersedia) dan pakan diberikan dengan perhitungan rata-rata 10 % dari bobot badan. Sebagaimana umumnya ruminansia, sapi yang digemukkan ini diberi pakan dalam bentuk konsentrat dan hijauan. ”Perbandingannya 85 % : 15 %,” sebut Faisal A. Binaranto, Direktur PT Kariyana Gita Utama. Tidak seperti pemberian pakan pada kambing atau domba yang kerap menuntut hijauan segar, sapi-sapi di Kariyana bisa dikatakan 0 % tanpa hijauan segar. Kebutuhan hijauan untuk tubuh dipenuhi dengan pemberian jerami padi yang ketersediaannya berlimpah di wilayah Sukabumi.“Tidak perlu mencari keluar daerah,” Rochmat memperjelas. Jerami yang diberikan, sebelumnya diberi perlakuan amoniasi. Asri menjelaskan, pembuatan amoniasi jerami dilakukan dengan menyemprotkan campuran molases (30 kg), urea (1 kg) dan air (30 liter) pada jerami (100 ton). Jerami yang telah disemprot disimpan, ditumpuk selama 21 – 30 hari. Ketersediaan konsentrat, diungkapkan Faisal, selama ini pihaknya melakukan self mixing (pencampuran sendiri). Beberapa bahan baku didatangkan dari Lampung, beberapa dari Jakarta dan Cilacap, sedangkan terigu diimpor. Ia menambahkan, fenomena kenaikan harga beberapa komponen pakan belakangan ini telah berdampak pada meningkatnya biaya pakan. “Sebelum terjadi kenaikan, tiap kilogram konsentrat bernilai Rp 800 - 850. Sekarang naik hampir 30 % ada di kisaran Rp 1150,” terang Rochmat yang diamini Faisal. Tak urung, fenomena tersebut berbuntut pada tingginya ongkos produksi. Dan pada gilirannya berkonsekuensi pada terdongkraknya harga jual sapi.

Selengkapnya baca Majalah TROBOS edisi April 2008

Minggu, 17 Mei 2009

Menyiasati “Angin Mati”


Siang itu sinar mentari begitu terik menyengat. Seakan tak mau ketinggalan peran memanaskan udara, hembusan angin turut menghilang, yang sebenarnya bisa sedikit menyejukkan udara sekitar. Dedaunan dan ranting pohon sekitar bergeming, tak bergerak sedikitpun, petunjuk bahwa si bayu (angin) absen dari tempat itu. ”Tampaknya hari ini kurang begitu bersahabat,” guman Yanto mendongak membaca gejala alam. Yanto yang peternak itu segera menyambangi kandangnya yang berlokasi di areal tanah relatif rendah ketimbang dataran sekitarnya. Letaknya yang tidak ideal itu menjadikan kandangnya kerap mengalami yang oleh sebagian pelaku perunggasan diistilahkan dengan “angin mati”.
Lain lagi yang dialami Suparno, peternak broiler asal Sragen. Ia memilih lokasi kandang di areal persawahan yang dinilainya akan memberikan sirkulasi udara baik. Tapi fakta bicara lain, seiring bertambah umur dan bobot ayam, semakin banyak pula ayamnya berjatuhan. Mendekati panen, tingkat kematian makin menjadi-jadi. Kandang yang merupakan pengembangan usaha dari beberapa kandang sebelumnya ini dihitungnya belum pernah memberikan keuntungan. “Kandang baru ini hitungannya rugi terus,” Suparno menggerutu.
Kesalahan telah dilakukan Suparno saat membangun kandang. Dengan tujuan memaksimalkan luas lahan agar bisa produksi tinggi, ia membangun kandang dengan lebar melebihi kisaran ideal. “Belakangan baru tahu setelah berdiskusi dengan tenaga lapangan sebuah perusahaan pakan unggas,” kata Suparno sambil tersenyum. Alhasil, sirkulasi udara tidak berjalan baik, “angin mati” pun ditunjuk jadi biang besarnya kerugian.

Lokasi, Lokasi dan Lokasi
Letak geografi, salah satu yang mutlak menjadi perhatian karena bakal menentukan usaha peternakan ayam untung atau buntung. Menurut Narno Widodo dari PT Primatama Karya Persada (PKP), idealnya peternakan berlokasi di ketinggian 600 di atas permukaan laut (dpl). Lokasi yang disebutnya itu paling cocok untuk pertumbuhan ayam, karena memberikan rasa nyaman. Namun untuk mencari lokasi demikian menurut Narno tidaklah mudah. ”Kalaupun dapat, lokasi ideal tersebut tidak banyak. Pengalaman saya dari 50 lokasi yang kita cari hanya 1 lokasi yang sesuai dengan kondisi ideal,” ujar Narno saat disambangi TROBOS di kantornya. Ia pun sudah membuktikan, secara nyata performa ayam jauh lebih baik ketika lokasi peternakan berada di ketinggan 600 dpl.
Selain ketinggian, lanjut Narno, yang perlu diperhatikan saat memilih lokasi, hendaknya kandang didirikan pada daerah yang rata. Artinya tidak didirikan di lembah. Karena pada lokasi di lembah cenderung banyak kejadian angin mati. Hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari kerugian investasi kandang yang disebabkan karena adanya fenomena angin mati. “Jadi sekali lagi lokasi, lokasi dan lokasi,” tandas Narno. Ia juga mewanti, jangan terlalu memaksakan lahan yang tidak cocok untuk usaha budidaya unggas, baik broiler maupun layer.
Tapi komentar berbeda dilontarkan Bambang Krista, seorang praktisi perunggasan mandiri. Ia yang dulunya pernah bertahun-tahun bekerja di perusahaan pembibitan ternama, kini banyak diminta beberapa pihak peternak atau bahkan perusahaan untuk menyiasati kandang yang sering mengalami angin mati.
“Kalau tanahnya cuma itu, atau kandang sudah berdiri sementara peternak tidak punya pilihan, maka yang dilakukan adalah menyiasati,” ujar Bambang. Tiga alternatif dikemukakan Bambang dengan memperhatikan dana yang dimiliki peternak. Yang paling ideal tentu saja mengubah kandang menjadi closed house. Dengan sistem ini semua parameter ideal dapat dikontrol sesuai kebutuhan kenyamanan ayam, mulai dari temperatur, kelembaban, sampai kadar amonia. Tapi, sambung Bambang, investasi untuk itu tidak sedikit. Dan langkah ini kebanyakan hanya mampu ditempuh oleh pelaku dengan modal atau akses permodalan berlimpah. Faktanya, sebagian besar peternak bukanlah pengusaha besar yang mampu untuk putar haluan menganut closed house.
Alternatif kedua adalah memodifikasi kandang terbuka menjadi semi closed house. Maksudnya, urai Bambang, tanpa mengubah kandang yang ada tetapi peternak menerapkan prinsip-prinsip dalam closed house. ”Tidak sepenuhnya closed house, paling tidak mendekati prinsip kerjanya. Dengan begitu investasi yang kita butuhkan tidak sebesar membangun kandang closed house,” saran Bambang. Prinsipnya, menciptakan aliran angin atau sirkulasi udara yang terus menerus di dalam kandang.
Dengan siasat ini, dari pengalamannya membenahi banyak kandang milik koleganya, peternak dapat meningkatkan kepadatan populasi sampai dua kali lipat dari sebelumnya. “Awalnya kandang kapasitas 9 ribu ekor, sekarang menjadi 16 ribu ekor. Dengan biaya jauh lebih kecil ketimbang membangun satu kandang lagi,” Bambang menyebut salah satu dari puluhan kandang hasil karyanya. Bahkan satu kandang DOC dirombaknya dari kapasitas 5 ribu ekor kini mampu memuat 22 ribu ekor.
Pilihan ketiga, adalah mempertimbangkan dana peternak yang betul-betul pas-pasan. Penggunaan fan (kipas angin) menjadi alternatif mengalirkan angin yang terjebak di tengah kandang. Aplikasinya membutuhkan pengaturan baik dari aspek jumlah, ukuran maupun letak.

Adopsi Prinsip Closed House
Kandang semi closed house sudah agak banyak diterapkan peternak di daerah. Kandang yang semula terbuka ditutup seluruhnya dengan terpal (layar), bagian atas kandang dibuat plafon. Tujuannya, mengadopsi konsep vakum udara pada sistem closed house yang dikenal dengan tunnel system. Setelah menutupi sekeliling kandang dengan menggunakan layar, kipas pun dipasang di kedua ujung kandang. Lagi-lagi ini mengadopsi prinsip closed house, yang dikenal dengan sistem inlet-outlet. Satu ujung kipas berfungsi mendorong angin masuk (inlet) dan ujung lain menarik angin dalam kandang dan mendorong keluar (outlet). Tapi sekali lagi untuk berhasilnya sistem ini, maka kandang harus ditutup layar. Demikian juga disyaratkan Tevi Melviana, PT. CJ Feed Indonesia saat dimintai komentarnya mengenai penggunaan kipas sebagai solusi kejadian angin mati. “Kalau tidak menggunakan tunnel bagaimana udara ditarik dan didorong supaya mengalir?” ujarnya retorik.
Agar modifikasi kandang semi closed house dapat maksimal memberikan hawa sejuk dan nyaman dalam kandang, di ujung inlet perlu diciptakan pendinginan. Demikian Bambang memberi saran lagi. Tujuannya, udara yang dimasukkan ke dalam kandang adalah udara sejuk. Teknik ini juga mengadopsi sistem closed house yang mutlak memasang shell deck di ujung inlet-nya.
Bahannya dapat memanfaatkan yang ada di sekitar. “Paling baik kalau tidak susah mendapatkannya, gunakan genteng dari tanah liat yang model lama. Jangan genteng pressed,” ujar Bambang. Genteng tradisional baik menyerap air. Atau dapat juga memenfaatkan keset yang terbuat dari sabut kelapa. Bahan tersebut ditata di ujung inlet, dengan terdapat saluran atau parit berisi air di bawahnya, dan bahan tadi terendam air. Sehingga air akan terserap oleh bahan. Kipas yang diletakkan di depan bahan tersebut saat dinyalakan akan menyedot udara di luar kandang, melewati shell deck dan kemudian mendorongnya ke dalam kandang. Alhasil, udara dingin mengalir ke dalam kandang.

Mampukah Kita menghasilkan Sapi Pedaging seperti ini???







Gambar-gambar ini membuatkan saya terpegun karena antara sapi-sapi pedaging ini datangnya dari luar negara seperti di United Kingdom. Sungguh besar-besar sapi yang diternaknya. Kita juga mampu menghasilkan mrnghasilkan sapi-sapi seperti yang dihasilkan oleh peternak di negara barat, bahkan juga akan menguntungkan para peternak kan??? Peternak atau petani di negara luar bukanlah sebuah komuniti yang dipandang rendahan!! bahkan dipandang tinggi karena dapat menghasilkan income yang tidak sedikit.

NTB : Menuju “Bumi Sejuta Sapi”

NTB kerap disebut sebagai salah satu sentra peternakan sapi di Indonesia. Sampai 2008 populasi sapi di NTB mencapai sekitar 546 ribu ekor. Angka itu menempatkan NTB sebagai daerah dengan populasi sapi urutan 8 terbesar secara nasional. Secara historis pun NTB pernah menjadi pengekspor sapi. Itu terjadi 178 tahun lalu, sekitar tahun 1831. Catatan terakhir, usaha peternakan sapi tersebar di hampir 913 desa seluruh pelosok provinsi sebelah timur Bali itu. Luas wilayah NTB yang sebesar 1,92 hektare berpotensi menyediakan pakan ternak sebanyak 7,96 ton, dengan padang rumput sebagai keunggulannya. Gambaran tersebut mengemuka dalam sebuah dialog di ajang Agrinex 2009 (13/3) lalu di Jakarta.
Penduduk NTB sangat cinta beternak sapi, “Masyarakat kami beternak sapi supaya bisa naik haji.” Demikian ungkap Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi. Orang nomor satu di NTB yang hari itu menjadi salah satu pembicara mengaku telah mencanangkan program bumi sejuta sapi. “Targetnya, 2013 populasi sapi di NTB lebih dari 1 juta ekor,” sumbar Zainul. Dalam seminar yang bertemakan ”Potensi Investasi Peternakan di Kawasan Indonesia Timur” itu juga Zainul mengungkapkan besarnya investasi untuk mendukung obsesinya itu. Setidaknya dibutuhkan sekitar Rp 3,1 triliun, dengan rincian Rp 2,9 triliun untuk belanja ternakl dan Rp 261,8 juta untuk pengembangan kandang.
Lebih jauh Zainul menjelaskan fungsi 2 pulau besar di NTB, Pulau Sumbawa sebagai lumbung bibit dan Pulau Lombok sebagai lumbung daging. Jenis usaha peternakan yang akan dikembangkan antara lain pembibitan sapi, penggemukan sapi, mini ranch, dan peternakan hilir. “Semua jenis usaha itu akan dijalankan dengan pola kemitraan dengan antara peternak dengan perusahaan inti,” kata Zainul.

Sejalan dengan Pusat
Program terobosan yang digulirkan Gubernur NTB itu disambut positif pihak pusat karena sejalan dengan program percepatan pencapaian swasembada daging sapi nasional. Menurut Direktur Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (Deptan), Tjeppy Soedjana, kini pihaknya tengah mendorong program KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi) yang diharapkan bisa dijalankan dalam waktu dekat. #rifta#

Menakar Keberhasilan “Kembarisasi” Sapi


Digadang mampu mendongkrak ketersediaan bibit, tingkat keberhasilan program ini baru 36,5 %.

Program twining (beranak lebih dari satu dalam satu kelahiran) alias “kembarisasi” mencuat tahun lalu seiring obsesi departemen pertanian menuju swasembada daging yang katanya akan dicapai di 2010. Kembarisasi ini diharapkan mampu turut mendongkrak jumlah populasi sapi tanah air, utamanya populasi bibit. Sebagaimana senantiasa mengemuka, defisit bibit menjadi persoalan besar untuk sampai terwujudnya swasembada. Tidak bisa tidak, kecukupan bibit merupakan variabel kunci utama menuai keberhasilan swasembada. Dan wacana kembarisasi digadang menutup celah tersebut, karena logikanya dengan sekali lahir lebih dari satu populasi akan berlipat, sesuai hukum deret ukur.
Keyakinan ini antara lain dikemukakan Kepala Balai Embrio Transfer (BET) Cipelang, Bogor, Ir Tri Harsi, MP. Institusi ini dipercaya sebagai pihak pelaksana teknis program kembarisasi.
“Aplikasi teknologi transfer embrio untuk program twining bisa mendukung tercapainya swasembada daging nasional dalam waktu dekat,” ungkap Tri Harsi ditemui di kantornya (17/4). Dan sebagai kelanjutan tahun lalu, di 2009 pemerintah melanjutkan program twining dengan memperluas area pelaksanaan. “Ini karena respon positif dari masyarakat terhadap program ini,” imbuh Tri Harsi. Dan agar target P2SDS (Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi) tercapai –tercukupinya bibit maupun meningkatnya populasi sapi— maka jumlah sapi donor dan sapi resipien harus segera ditingkatkan.

Masih Rendah

Mendapat pedet lebih dari satu dalam satu kelahiran, merupakan impian bagi setiap peternak sapi. Terlebih jika pedet yang lahir memiliki kondisi yang sehat dan penampilan yang bagus. “Sebenarnya proses yang diperlukan untuk memperoleh anak lebih dari satu dalam satu kelahiran sudah bisa kita lakukan saat ini,” ungkap Drs R Purwanto, MM, Kepala Sub Bagian Tata Usaha, BET Cipelang.
Sayangnya, data lapangan BET Cipelang menunjukkan tingkat keberhasilan program ini masih rendah. Sepanjang 2008, dari 88 ekor resipien (induk penerima embrio) baru 23 ekor (36,5%) yang berhasil melahirkan kembar. Persebarannya dibatasi pada wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, dan Gorontalo.
Menurut Tri Harsi, rendahnya angka ini disebabkan dua kendala utama. “Kurangnya tenaga ahli operator di masyarakat, yang pertama. Kedua, perlu peralatan khusus untuk melakukan transfer embrio, dan ini masih jadi kendala tersendiri di lapangan,” paparnya. Meskipun demikian, fakta ini tak menyurutkan tekad Tri Harsi bersama jajarannya untuk memasyarakatkan transfer embrio (TE) pada peternak, demi target kelahiran kembar.
Pada dasarnya, dijelaskan Tri Harsi, kembarisasi melalui TE meski terlihat cukup rumit sebenarnya mudah diaplikasikan di masyarakat. Ia pun yakin, kelak teknologi ini bakal membudaya layaknya inseminasi buatan (IB) alias kawin suntik saat ini. Ditambahkannya, selain unggul dalam soal kuantitas (beranak dua atau lebih), TE juga memungkinkan memperoleh bibit unggul (kualitas). Kualitas anakan dapat dipastikan identik dengan sapi donor (induk penghasil embrio), yang biasanya adalah sapi-sapi impor berkualitas tinggi. Menurut Purwanto, harga per ekor sapi donor yang dipelihara di BET Cipelang berkisar Rp 100 juta. “Sapi-sapi donor tersebut berasal dari Australia,” ungkap Purwanto. Embrio unggul asal sapi donor ini selanjutnya “ditanam” atau “dititipkan” pada induk resipien sampai waktunya dilahirkan. Teknologi TE menjamin perolehan bibit dengan materi genetik setara tetuanya, sehingga tidak perlu melakukan pemuliaan melalui persilangan yang memakan waktu lama. “Suatu ketika, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor bibit.”

Selengkapnya baca di Majalah Trobos edisi Mei 2009

Selamat,..

Assalamu'alaikum wr.wb
Selamat dengan telah diluncurkannya Blog --> Ilmu Peternakan ini. Semoga blog ini bisa bermanfaat untuk forum belajar, diskusi dan sharing terkait dengan Ilmu Peternakan.
Kami ucapkan terimakasih kepada Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga peluncuran perdana blog ini bisa terlaksana. Ucapan terimakasih tak lupa saya sampaikan kepada para pengunjung perdana blog ini.

Kami mencoba menghadirkan wajah baru, sebagai wahana sharing untuk memajukan peternakan Indonesia yang selama ini kurang mendapat perhatian. Padahal apa yang Allah karuniakan sangat banyak sekali. Marilah kita bersyukur dengan apa yang telah kita nikmati ini dengan mengkampanyekan Produk-produk peternakan memasyarakat.
marilah kita majukan dunia peternakan Indonesia agar terus berkembang dan mendukung pemerintah dalam rangka swasembada daging, dan menaikkan konsumsi protein hewani masyarakat indonesia.

Terakhir,... semoga blog ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Bravo Peternakan Indonesia.
terimakasih. Wassalamu'alaikum wr.wb. #rifta#