Minggu, 17 Mei 2009

Menakar Keberhasilan “Kembarisasi” Sapi


Digadang mampu mendongkrak ketersediaan bibit, tingkat keberhasilan program ini baru 36,5 %.

Program twining (beranak lebih dari satu dalam satu kelahiran) alias “kembarisasi” mencuat tahun lalu seiring obsesi departemen pertanian menuju swasembada daging yang katanya akan dicapai di 2010. Kembarisasi ini diharapkan mampu turut mendongkrak jumlah populasi sapi tanah air, utamanya populasi bibit. Sebagaimana senantiasa mengemuka, defisit bibit menjadi persoalan besar untuk sampai terwujudnya swasembada. Tidak bisa tidak, kecukupan bibit merupakan variabel kunci utama menuai keberhasilan swasembada. Dan wacana kembarisasi digadang menutup celah tersebut, karena logikanya dengan sekali lahir lebih dari satu populasi akan berlipat, sesuai hukum deret ukur.
Keyakinan ini antara lain dikemukakan Kepala Balai Embrio Transfer (BET) Cipelang, Bogor, Ir Tri Harsi, MP. Institusi ini dipercaya sebagai pihak pelaksana teknis program kembarisasi.
“Aplikasi teknologi transfer embrio untuk program twining bisa mendukung tercapainya swasembada daging nasional dalam waktu dekat,” ungkap Tri Harsi ditemui di kantornya (17/4). Dan sebagai kelanjutan tahun lalu, di 2009 pemerintah melanjutkan program twining dengan memperluas area pelaksanaan. “Ini karena respon positif dari masyarakat terhadap program ini,” imbuh Tri Harsi. Dan agar target P2SDS (Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi) tercapai –tercukupinya bibit maupun meningkatnya populasi sapi— maka jumlah sapi donor dan sapi resipien harus segera ditingkatkan.

Masih Rendah

Mendapat pedet lebih dari satu dalam satu kelahiran, merupakan impian bagi setiap peternak sapi. Terlebih jika pedet yang lahir memiliki kondisi yang sehat dan penampilan yang bagus. “Sebenarnya proses yang diperlukan untuk memperoleh anak lebih dari satu dalam satu kelahiran sudah bisa kita lakukan saat ini,” ungkap Drs R Purwanto, MM, Kepala Sub Bagian Tata Usaha, BET Cipelang.
Sayangnya, data lapangan BET Cipelang menunjukkan tingkat keberhasilan program ini masih rendah. Sepanjang 2008, dari 88 ekor resipien (induk penerima embrio) baru 23 ekor (36,5%) yang berhasil melahirkan kembar. Persebarannya dibatasi pada wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, dan Gorontalo.
Menurut Tri Harsi, rendahnya angka ini disebabkan dua kendala utama. “Kurangnya tenaga ahli operator di masyarakat, yang pertama. Kedua, perlu peralatan khusus untuk melakukan transfer embrio, dan ini masih jadi kendala tersendiri di lapangan,” paparnya. Meskipun demikian, fakta ini tak menyurutkan tekad Tri Harsi bersama jajarannya untuk memasyarakatkan transfer embrio (TE) pada peternak, demi target kelahiran kembar.
Pada dasarnya, dijelaskan Tri Harsi, kembarisasi melalui TE meski terlihat cukup rumit sebenarnya mudah diaplikasikan di masyarakat. Ia pun yakin, kelak teknologi ini bakal membudaya layaknya inseminasi buatan (IB) alias kawin suntik saat ini. Ditambahkannya, selain unggul dalam soal kuantitas (beranak dua atau lebih), TE juga memungkinkan memperoleh bibit unggul (kualitas). Kualitas anakan dapat dipastikan identik dengan sapi donor (induk penghasil embrio), yang biasanya adalah sapi-sapi impor berkualitas tinggi. Menurut Purwanto, harga per ekor sapi donor yang dipelihara di BET Cipelang berkisar Rp 100 juta. “Sapi-sapi donor tersebut berasal dari Australia,” ungkap Purwanto. Embrio unggul asal sapi donor ini selanjutnya “ditanam” atau “dititipkan” pada induk resipien sampai waktunya dilahirkan. Teknologi TE menjamin perolehan bibit dengan materi genetik setara tetuanya, sehingga tidak perlu melakukan pemuliaan melalui persilangan yang memakan waktu lama. “Suatu ketika, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor bibit.”

Selengkapnya baca di Majalah Trobos edisi Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar