Minggu, 17 Mei 2009

Menyiasati “Angin Mati”


Siang itu sinar mentari begitu terik menyengat. Seakan tak mau ketinggalan peran memanaskan udara, hembusan angin turut menghilang, yang sebenarnya bisa sedikit menyejukkan udara sekitar. Dedaunan dan ranting pohon sekitar bergeming, tak bergerak sedikitpun, petunjuk bahwa si bayu (angin) absen dari tempat itu. ”Tampaknya hari ini kurang begitu bersahabat,” guman Yanto mendongak membaca gejala alam. Yanto yang peternak itu segera menyambangi kandangnya yang berlokasi di areal tanah relatif rendah ketimbang dataran sekitarnya. Letaknya yang tidak ideal itu menjadikan kandangnya kerap mengalami yang oleh sebagian pelaku perunggasan diistilahkan dengan “angin mati”.
Lain lagi yang dialami Suparno, peternak broiler asal Sragen. Ia memilih lokasi kandang di areal persawahan yang dinilainya akan memberikan sirkulasi udara baik. Tapi fakta bicara lain, seiring bertambah umur dan bobot ayam, semakin banyak pula ayamnya berjatuhan. Mendekati panen, tingkat kematian makin menjadi-jadi. Kandang yang merupakan pengembangan usaha dari beberapa kandang sebelumnya ini dihitungnya belum pernah memberikan keuntungan. “Kandang baru ini hitungannya rugi terus,” Suparno menggerutu.
Kesalahan telah dilakukan Suparno saat membangun kandang. Dengan tujuan memaksimalkan luas lahan agar bisa produksi tinggi, ia membangun kandang dengan lebar melebihi kisaran ideal. “Belakangan baru tahu setelah berdiskusi dengan tenaga lapangan sebuah perusahaan pakan unggas,” kata Suparno sambil tersenyum. Alhasil, sirkulasi udara tidak berjalan baik, “angin mati” pun ditunjuk jadi biang besarnya kerugian.

Lokasi, Lokasi dan Lokasi
Letak geografi, salah satu yang mutlak menjadi perhatian karena bakal menentukan usaha peternakan ayam untung atau buntung. Menurut Narno Widodo dari PT Primatama Karya Persada (PKP), idealnya peternakan berlokasi di ketinggian 600 di atas permukaan laut (dpl). Lokasi yang disebutnya itu paling cocok untuk pertumbuhan ayam, karena memberikan rasa nyaman. Namun untuk mencari lokasi demikian menurut Narno tidaklah mudah. ”Kalaupun dapat, lokasi ideal tersebut tidak banyak. Pengalaman saya dari 50 lokasi yang kita cari hanya 1 lokasi yang sesuai dengan kondisi ideal,” ujar Narno saat disambangi TROBOS di kantornya. Ia pun sudah membuktikan, secara nyata performa ayam jauh lebih baik ketika lokasi peternakan berada di ketinggan 600 dpl.
Selain ketinggian, lanjut Narno, yang perlu diperhatikan saat memilih lokasi, hendaknya kandang didirikan pada daerah yang rata. Artinya tidak didirikan di lembah. Karena pada lokasi di lembah cenderung banyak kejadian angin mati. Hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari kerugian investasi kandang yang disebabkan karena adanya fenomena angin mati. “Jadi sekali lagi lokasi, lokasi dan lokasi,” tandas Narno. Ia juga mewanti, jangan terlalu memaksakan lahan yang tidak cocok untuk usaha budidaya unggas, baik broiler maupun layer.
Tapi komentar berbeda dilontarkan Bambang Krista, seorang praktisi perunggasan mandiri. Ia yang dulunya pernah bertahun-tahun bekerja di perusahaan pembibitan ternama, kini banyak diminta beberapa pihak peternak atau bahkan perusahaan untuk menyiasati kandang yang sering mengalami angin mati.
“Kalau tanahnya cuma itu, atau kandang sudah berdiri sementara peternak tidak punya pilihan, maka yang dilakukan adalah menyiasati,” ujar Bambang. Tiga alternatif dikemukakan Bambang dengan memperhatikan dana yang dimiliki peternak. Yang paling ideal tentu saja mengubah kandang menjadi closed house. Dengan sistem ini semua parameter ideal dapat dikontrol sesuai kebutuhan kenyamanan ayam, mulai dari temperatur, kelembaban, sampai kadar amonia. Tapi, sambung Bambang, investasi untuk itu tidak sedikit. Dan langkah ini kebanyakan hanya mampu ditempuh oleh pelaku dengan modal atau akses permodalan berlimpah. Faktanya, sebagian besar peternak bukanlah pengusaha besar yang mampu untuk putar haluan menganut closed house.
Alternatif kedua adalah memodifikasi kandang terbuka menjadi semi closed house. Maksudnya, urai Bambang, tanpa mengubah kandang yang ada tetapi peternak menerapkan prinsip-prinsip dalam closed house. ”Tidak sepenuhnya closed house, paling tidak mendekati prinsip kerjanya. Dengan begitu investasi yang kita butuhkan tidak sebesar membangun kandang closed house,” saran Bambang. Prinsipnya, menciptakan aliran angin atau sirkulasi udara yang terus menerus di dalam kandang.
Dengan siasat ini, dari pengalamannya membenahi banyak kandang milik koleganya, peternak dapat meningkatkan kepadatan populasi sampai dua kali lipat dari sebelumnya. “Awalnya kandang kapasitas 9 ribu ekor, sekarang menjadi 16 ribu ekor. Dengan biaya jauh lebih kecil ketimbang membangun satu kandang lagi,” Bambang menyebut salah satu dari puluhan kandang hasil karyanya. Bahkan satu kandang DOC dirombaknya dari kapasitas 5 ribu ekor kini mampu memuat 22 ribu ekor.
Pilihan ketiga, adalah mempertimbangkan dana peternak yang betul-betul pas-pasan. Penggunaan fan (kipas angin) menjadi alternatif mengalirkan angin yang terjebak di tengah kandang. Aplikasinya membutuhkan pengaturan baik dari aspek jumlah, ukuran maupun letak.

Adopsi Prinsip Closed House
Kandang semi closed house sudah agak banyak diterapkan peternak di daerah. Kandang yang semula terbuka ditutup seluruhnya dengan terpal (layar), bagian atas kandang dibuat plafon. Tujuannya, mengadopsi konsep vakum udara pada sistem closed house yang dikenal dengan tunnel system. Setelah menutupi sekeliling kandang dengan menggunakan layar, kipas pun dipasang di kedua ujung kandang. Lagi-lagi ini mengadopsi prinsip closed house, yang dikenal dengan sistem inlet-outlet. Satu ujung kipas berfungsi mendorong angin masuk (inlet) dan ujung lain menarik angin dalam kandang dan mendorong keluar (outlet). Tapi sekali lagi untuk berhasilnya sistem ini, maka kandang harus ditutup layar. Demikian juga disyaratkan Tevi Melviana, PT. CJ Feed Indonesia saat dimintai komentarnya mengenai penggunaan kipas sebagai solusi kejadian angin mati. “Kalau tidak menggunakan tunnel bagaimana udara ditarik dan didorong supaya mengalir?” ujarnya retorik.
Agar modifikasi kandang semi closed house dapat maksimal memberikan hawa sejuk dan nyaman dalam kandang, di ujung inlet perlu diciptakan pendinginan. Demikian Bambang memberi saran lagi. Tujuannya, udara yang dimasukkan ke dalam kandang adalah udara sejuk. Teknik ini juga mengadopsi sistem closed house yang mutlak memasang shell deck di ujung inlet-nya.
Bahannya dapat memanfaatkan yang ada di sekitar. “Paling baik kalau tidak susah mendapatkannya, gunakan genteng dari tanah liat yang model lama. Jangan genteng pressed,” ujar Bambang. Genteng tradisional baik menyerap air. Atau dapat juga memenfaatkan keset yang terbuat dari sabut kelapa. Bahan tersebut ditata di ujung inlet, dengan terdapat saluran atau parit berisi air di bawahnya, dan bahan tadi terendam air. Sehingga air akan terserap oleh bahan. Kipas yang diletakkan di depan bahan tersebut saat dinyalakan akan menyedot udara di luar kandang, melewati shell deck dan kemudian mendorongnya ke dalam kandang. Alhasil, udara dingin mengalir ke dalam kandang.

Mampukah Kita menghasilkan Sapi Pedaging seperti ini???







Gambar-gambar ini membuatkan saya terpegun karena antara sapi-sapi pedaging ini datangnya dari luar negara seperti di United Kingdom. Sungguh besar-besar sapi yang diternaknya. Kita juga mampu menghasilkan mrnghasilkan sapi-sapi seperti yang dihasilkan oleh peternak di negara barat, bahkan juga akan menguntungkan para peternak kan??? Peternak atau petani di negara luar bukanlah sebuah komuniti yang dipandang rendahan!! bahkan dipandang tinggi karena dapat menghasilkan income yang tidak sedikit.

NTB : Menuju “Bumi Sejuta Sapi”

NTB kerap disebut sebagai salah satu sentra peternakan sapi di Indonesia. Sampai 2008 populasi sapi di NTB mencapai sekitar 546 ribu ekor. Angka itu menempatkan NTB sebagai daerah dengan populasi sapi urutan 8 terbesar secara nasional. Secara historis pun NTB pernah menjadi pengekspor sapi. Itu terjadi 178 tahun lalu, sekitar tahun 1831. Catatan terakhir, usaha peternakan sapi tersebar di hampir 913 desa seluruh pelosok provinsi sebelah timur Bali itu. Luas wilayah NTB yang sebesar 1,92 hektare berpotensi menyediakan pakan ternak sebanyak 7,96 ton, dengan padang rumput sebagai keunggulannya. Gambaran tersebut mengemuka dalam sebuah dialog di ajang Agrinex 2009 (13/3) lalu di Jakarta.
Penduduk NTB sangat cinta beternak sapi, “Masyarakat kami beternak sapi supaya bisa naik haji.” Demikian ungkap Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi. Orang nomor satu di NTB yang hari itu menjadi salah satu pembicara mengaku telah mencanangkan program bumi sejuta sapi. “Targetnya, 2013 populasi sapi di NTB lebih dari 1 juta ekor,” sumbar Zainul. Dalam seminar yang bertemakan ”Potensi Investasi Peternakan di Kawasan Indonesia Timur” itu juga Zainul mengungkapkan besarnya investasi untuk mendukung obsesinya itu. Setidaknya dibutuhkan sekitar Rp 3,1 triliun, dengan rincian Rp 2,9 triliun untuk belanja ternakl dan Rp 261,8 juta untuk pengembangan kandang.
Lebih jauh Zainul menjelaskan fungsi 2 pulau besar di NTB, Pulau Sumbawa sebagai lumbung bibit dan Pulau Lombok sebagai lumbung daging. Jenis usaha peternakan yang akan dikembangkan antara lain pembibitan sapi, penggemukan sapi, mini ranch, dan peternakan hilir. “Semua jenis usaha itu akan dijalankan dengan pola kemitraan dengan antara peternak dengan perusahaan inti,” kata Zainul.

Sejalan dengan Pusat
Program terobosan yang digulirkan Gubernur NTB itu disambut positif pihak pusat karena sejalan dengan program percepatan pencapaian swasembada daging sapi nasional. Menurut Direktur Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (Deptan), Tjeppy Soedjana, kini pihaknya tengah mendorong program KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi) yang diharapkan bisa dijalankan dalam waktu dekat. #rifta#

Menakar Keberhasilan “Kembarisasi” Sapi


Digadang mampu mendongkrak ketersediaan bibit, tingkat keberhasilan program ini baru 36,5 %.

Program twining (beranak lebih dari satu dalam satu kelahiran) alias “kembarisasi” mencuat tahun lalu seiring obsesi departemen pertanian menuju swasembada daging yang katanya akan dicapai di 2010. Kembarisasi ini diharapkan mampu turut mendongkrak jumlah populasi sapi tanah air, utamanya populasi bibit. Sebagaimana senantiasa mengemuka, defisit bibit menjadi persoalan besar untuk sampai terwujudnya swasembada. Tidak bisa tidak, kecukupan bibit merupakan variabel kunci utama menuai keberhasilan swasembada. Dan wacana kembarisasi digadang menutup celah tersebut, karena logikanya dengan sekali lahir lebih dari satu populasi akan berlipat, sesuai hukum deret ukur.
Keyakinan ini antara lain dikemukakan Kepala Balai Embrio Transfer (BET) Cipelang, Bogor, Ir Tri Harsi, MP. Institusi ini dipercaya sebagai pihak pelaksana teknis program kembarisasi.
“Aplikasi teknologi transfer embrio untuk program twining bisa mendukung tercapainya swasembada daging nasional dalam waktu dekat,” ungkap Tri Harsi ditemui di kantornya (17/4). Dan sebagai kelanjutan tahun lalu, di 2009 pemerintah melanjutkan program twining dengan memperluas area pelaksanaan. “Ini karena respon positif dari masyarakat terhadap program ini,” imbuh Tri Harsi. Dan agar target P2SDS (Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi) tercapai –tercukupinya bibit maupun meningkatnya populasi sapi— maka jumlah sapi donor dan sapi resipien harus segera ditingkatkan.

Masih Rendah

Mendapat pedet lebih dari satu dalam satu kelahiran, merupakan impian bagi setiap peternak sapi. Terlebih jika pedet yang lahir memiliki kondisi yang sehat dan penampilan yang bagus. “Sebenarnya proses yang diperlukan untuk memperoleh anak lebih dari satu dalam satu kelahiran sudah bisa kita lakukan saat ini,” ungkap Drs R Purwanto, MM, Kepala Sub Bagian Tata Usaha, BET Cipelang.
Sayangnya, data lapangan BET Cipelang menunjukkan tingkat keberhasilan program ini masih rendah. Sepanjang 2008, dari 88 ekor resipien (induk penerima embrio) baru 23 ekor (36,5%) yang berhasil melahirkan kembar. Persebarannya dibatasi pada wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, dan Gorontalo.
Menurut Tri Harsi, rendahnya angka ini disebabkan dua kendala utama. “Kurangnya tenaga ahli operator di masyarakat, yang pertama. Kedua, perlu peralatan khusus untuk melakukan transfer embrio, dan ini masih jadi kendala tersendiri di lapangan,” paparnya. Meskipun demikian, fakta ini tak menyurutkan tekad Tri Harsi bersama jajarannya untuk memasyarakatkan transfer embrio (TE) pada peternak, demi target kelahiran kembar.
Pada dasarnya, dijelaskan Tri Harsi, kembarisasi melalui TE meski terlihat cukup rumit sebenarnya mudah diaplikasikan di masyarakat. Ia pun yakin, kelak teknologi ini bakal membudaya layaknya inseminasi buatan (IB) alias kawin suntik saat ini. Ditambahkannya, selain unggul dalam soal kuantitas (beranak dua atau lebih), TE juga memungkinkan memperoleh bibit unggul (kualitas). Kualitas anakan dapat dipastikan identik dengan sapi donor (induk penghasil embrio), yang biasanya adalah sapi-sapi impor berkualitas tinggi. Menurut Purwanto, harga per ekor sapi donor yang dipelihara di BET Cipelang berkisar Rp 100 juta. “Sapi-sapi donor tersebut berasal dari Australia,” ungkap Purwanto. Embrio unggul asal sapi donor ini selanjutnya “ditanam” atau “dititipkan” pada induk resipien sampai waktunya dilahirkan. Teknologi TE menjamin perolehan bibit dengan materi genetik setara tetuanya, sehingga tidak perlu melakukan pemuliaan melalui persilangan yang memakan waktu lama. “Suatu ketika, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor bibit.”

Selengkapnya baca di Majalah Trobos edisi Mei 2009

Selamat,..

Assalamu'alaikum wr.wb
Selamat dengan telah diluncurkannya Blog --> Ilmu Peternakan ini. Semoga blog ini bisa bermanfaat untuk forum belajar, diskusi dan sharing terkait dengan Ilmu Peternakan.
Kami ucapkan terimakasih kepada Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga peluncuran perdana blog ini bisa terlaksana. Ucapan terimakasih tak lupa saya sampaikan kepada para pengunjung perdana blog ini.

Kami mencoba menghadirkan wajah baru, sebagai wahana sharing untuk memajukan peternakan Indonesia yang selama ini kurang mendapat perhatian. Padahal apa yang Allah karuniakan sangat banyak sekali. Marilah kita bersyukur dengan apa yang telah kita nikmati ini dengan mengkampanyekan Produk-produk peternakan memasyarakat.
marilah kita majukan dunia peternakan Indonesia agar terus berkembang dan mendukung pemerintah dalam rangka swasembada daging, dan menaikkan konsumsi protein hewani masyarakat indonesia.

Terakhir,... semoga blog ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Bravo Peternakan Indonesia.
terimakasih. Wassalamu'alaikum wr.wb. #rifta#